Indonesia memiliki fauna yang sangat beragam dan tinggi, hal ini terjadi karena Indonesia memiliki wilayah yang luas dan beriklim tropis serta ekosistem yang beragam pula. Keanekaragaman yang tinggi disebabkan oleh Garis Wallace yang membagi Indonesia menjadi dua area yaitu zona zoogeografi asia dan zoogeografi Australasia. Pulau Sulawesi merupakan merupakan akhir dari penyebaran fauna oriental (Asia). Selat Makasar yang dikenal sebagai pemisah garis Wallace merupakan benteng alam yang tidak dapat ditembus oleh penyebaran fauna dari wilayah barat, oleh karena itu pulau Sulawesi memiliki keunikan tersendiri ditinjau dari komunitas biologinya. Sehingga memiliki tingkat endemisitas fauna yang tinggi. Bahkan beberapa ahli menyebutkan bahwa pulau Sulawesi menunjukkan ciri dari wujud suatu pulau oseanik. Spesies asli mamalia di pulau Sulawesi sejumlah 223 dan sebanyak 126 di antaranya endemik daerah ini. Dua satwa langka herbivora di pulau sulawesi diantaranya:
1. Anoa
Satwa langka dan dilindungi ini terdiri atas dua spesies yaitu: Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) Populasinya kurang dari 2500 ekor (www.iucnredlist.org ) . Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) Populasinya juga kurang dari 2500 ekor (www.iucnredlist.org ). Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan dagingnya.
Anoa Pegunungan
IUCN Redlist memasukkan kedua jenis anoa ini dalam status konservasi endangered (Terancam Punah). CITES juga memasukkan kedua satwa langka ini dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diperjual belikan.
Beberapa daerah yang masih terdapat satwa ini antaranya adalah Cagar Alam Gunung Lambusango, Taman Nasional Lore-Lindu dan TN Rawa Aopa Watumohai (beberapa pihak menduga sudah punah). Tahun 2010 ini, Taman Nasional Lore-Lindu akan mencoba melakukan penangkaran satwa langka yang dilindungi ini. (alamendah.wordpress.com)
2. Babirusa (Babyrousa babyrussa)
Babirusa merupakan satwa endemik sulawesi, populasinya hingga sekarang tidak diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan persebarannya yang terbatas oleh IUCN Redlist satwa endemik ini didaftarkan dalam kategori konservasi Vulnerable (Rentan) sejak tahun 1986. CITES menggolongkan binatang langka dan dilindungi ini dalam daftar Apendiks I yang berarti tidak boleh diburu dan diperdagangkan.
Babirusa
Beberapa wilayah yang diduga masih menjadi habitat babirusa antara lain Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Cagar Alam Panua. Sedangkan di Cagar Alam Tangkoko, dan Suaka Margasatwa Manembo-nembo satwa unik endemik Sulawesi ini mulai langka dan jarang ditemui (alamendah.wordpress.com).
Ancaman serius terhadap kelangsungan hidup adalah berkurangnya ruang habitat, menurunnya kualitas habitat dan perburuan. Berkurangnya luas habitat akibat dari konversi kawasan hutan baik legal maupun ilegal menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain. Mengingat populasi satwa ini sudah sangat memperhatinkan, apalagi penyebaran populasinya yang terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja. Dengan demikian sudah saatnya pemerintah dan semua pihak yang terkait perlu berpartisipasi dalam upaya pelestarian satwa ini baik secara insitu maupun eksitu. Sosialisasi diperlukan berkaitan pentingnya satwa ini terutama bagi penelitian, pendidikan, wisata maupun keseimbangan ekosistem. Begitupula dari segi konservasinya yaitu pentingnya satwa ini hidup bebas di habitatnya tanpa ada tekanan perburuan, kerusakan habitat serta kekurangan pakan.
Ada beberapa hal strategis yang dapat dilakukan yaitu, habitat yang ada diluar kawasan konservasi segera ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung, sedangkan yang berada didalam taman nasional dijadikan zona inti agar satwa tersebut tidak terancam kelestariannya. Kedua, perlunya penyuluhan sebagai upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian satwa. Ketiga, perlunya merestorasi habitat anoa yang rusak. Keempat, penelitian tentang teknik penangkaran sebagai upaya pelestarian eksitu perlu segera dilakukan. Dan Kelima, perlunya dilakukan penelitian mengenai data pasti jumlah populasi satwa yang ada di Sulawesi.
Artikel ditulis oleh Divisi Konservasi Herbivora UKF (2011).